
Imam Ath-Thabari: Sosok Cendekiawan Muslim dan Perjalanan Ilmiahnya
Imam Ath-Thabari adalah salah satu ulama besar dalam sejarah Islam yang memiliki kecakapan luar biasa dalam berbagai disiplin ilmu, seperti tafsir, sejarah, fikih, dan hadis. Beliau dikenal sebagai "Bapak Tafsir" berkat karya tafsirnya yang fenomenal dan menjadi rujukan utama dalam bidang tersebut.
DAFTAR ISI
Ulama Tafsir dengan Keahlian Multidisiplin
Bagi siapa saja yang mendalami ilmu tafsir, sulit untuk mengabaikan karya monumental Imam Ath-Thabari yang berjudul Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, atau lebih dikenal sebagai Tafsir Ath-Thabari. Bagaimana perjalanan hidup beliau hingga mencapai derajat keilmuan yang begitu tinggi? Semoga tulisan ini dapat menginspirasi kita dalam menuntut ilmu.
Baca Juga: Pesantren Tahfidz Untuk Usia SMP/SMA Program 3 Tahun Mutqin 30 Juz
Biografi Imam Ath-Thabari
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Galib Ath-Thabari. Beliau kerap dipanggil dengan sebutan Abu Ja’far, Ath-Thabari, atau Ibnu Jarir. Lahir di kota Amul, ibu kota Tabaristan (sekarang Iran) pada tahun 224 H/839 M, beliau tumbuh dalam lingkungan yang sangat peduli terhadap pendidikan, khususnya dalam bidang keislaman. Pada masa itu, dunia Islam tengah mengalami kemajuan luar biasa dalam berbagai bidang pemikiran.
Ayahnya, Jarir Ibn Yazid, merupakan seorang ulama yang sangat berperan dalam membimbing Ath-Thabari ke jalan keilmuan. Sejak kecil, beliau sudah diperkenalkan dengan dunia ilmu agama, dimulai dari belajar Al-Qur’an hingga berbagai cabang ilmu lainnya. Berkat ketekunannya, Ath-Thabari sudah menghafal Al-Qur’an di usia 7 tahun. Saat berusia 8 tahun, beliau dipercaya masyarakat untuk menjadi imam salat, dan pada umur 9 tahun telah aktif menulis hadis.
Suatu ketika, sang ayah bermimpi melihat Ath-Thabari berada di hadapan Nabi Muhammad ﷺ sambil membawa wadah berisi batu, lalu melemparkan batu tersebut di hadapan beliau. Saat mimpi ini ditafsirkan, dikatakan bahwa kelak Ath-Thabari akan menjadi penjaga syariat Islam dan penasihat agama. Sejak saat itu, ayahnya semakin memperhatikan pendidikan putranya dengan lebih serius.
Lingkungan yang mendukung dan iklim intelektual yang kondusif turut membentuk karakter Ath-Thabari yang haus akan ilmu. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap ilmu pengetahuan.
Baca Juga: Gap Year With Quran (1 Tahun Mutqin 30 Juz)
Perjalanan Menuntut Ilmu
Sejak usia 12 tahun, Ath-Thabari telah memulai perjalanannya dalam mencari ilmu ke berbagai daerah. Perhentian pertamanya adalah kota Ray (kini bagian dari Teheran, Iran), di mana beliau belajar hadis langsung dari seorang ulama besar, Muhammad bin Humaid Ar-Razi, yang juga mengajarkan Sirah Nabawiyah kepadanya.
Pada tahun 241 H, beliau melanjutkan perjalanan ke Baghdad dengan niat belajar fikih kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Namun, sebelum sempat berguru kepadanya, Imam Ahmad bin Hanbal wafat. Meski demikian, perjalanan intelektualnya terus berlanjut. Pada tahun 242 H, beliau pergi ke Bashrah untuk belajar hadis kepada Muhammad bin al-Ma’alli dan Muhammad bin Basyar, lalu ke Kufah untuk menimba ilmu dari Hanna’ bin al-Sary dan Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala al-Hamdani.
Pada tahun 245 H, beliau melanjutkan perjalanan ke Syam (kini Suriah) dan mendalami ilmu qira’at kepada Al-‘Abbas bin Al-Walid Al-Bairuni dengan metode qira’at Syamiyyin. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanannya ke Mesir untuk mempelajari fikih dari Al-Muzani (salah satu murid Imam Syafi’i) serta fikih Maliki dari Muhammad bin ‘Abd Allah bin Al-Hakam dan Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah.
Setelah menghabiskan bertahun-tahun dalam perjalanan mencari ilmu, beliau kembali ke Tabaristan untuk menetap sementara sebelum akhirnya memilih Baghdad sebagai tempat tinggalnya hingga wafat pada tahun 310 H. Beliau dimakamkan di rumahnya, dan makamnya tetap berada di sana hingga kini.
Hidup untuk Ilmu
Dr. Muhammad Az-Zuhaili pernah menyatakan, “Menurut sumber yang terpercaya, seluruh hidup Abu Ja’far Ath-Thabari didedikasikan untuk ilmu dan pencariannya.” Sejak masa mudanya, beliau rela menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, berpindah dari satu kota ke kota lain. Beliau tidak menetap di satu tempat sampai usianya mencapai 35-40 tahun.
Kehidupan Ath-Thabari tidak dipenuhi dengan kemewahan. Sebagian besar hartanya habis digunakan untuk membiayai perjalanan ilmiahnya, membeli kitab, dan menyalin naskah-naskah penting. Awalnya, beliau mengandalkan harta dari ayahnya sebagai bekal perjalanan.
Ketika akhirnya beliau menetap, seluruh waktunya dicurahkan untuk menulis, berkarya, dan mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Baginya, ilmu adalah kenikmatan terbesar yang tak bisa tergantikan. Karena begitu sibuk dengan dunia ilmu, beliau tidak menikah dan lebih memilih menghabiskan waktunya untuk membaca, meneliti, dan menulis kitab-kitab besar.
Baca Juga: Healing With Quran (1 Bulan Membersamai Al Quran)
Karya-Karya Monumental
Imam Ath-Thabari adalah seorang ulama dengan kontribusi besar dalam keilmuan Islam. Nama beliau terus hidup dalam sejarah Islam berkat karya-karyanya. Dua karyanya yang paling terkenal, yaitu:
- Tarikh al-Umam wa al-Muluk (sejarah peradaban dunia), yang lebih dikenal sebagai Tarikh Ath-Thabari, menjadi referensi utama dalam ilmu sejarah Islam.
- Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ay al-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari), yang menjadi salah satu kitab tafsir paling berpengaruh sepanjang sejarah.
Selain itu, beliau juga menulis kitab-kitab lain seperti:
- - Adab al-Qadhah (etika para hakim),
- Adab al-Manasik (tatacara ibadah haji dan umrah),
- Adab an-Nufus (etika dalam kehidupan),
- Ahkam Syara’i al-Islam (hukum-hukum syariat Islam), dan masih banyak lagi.
Kesimpulan
Kisah perjalanan Imam Ath-Thabari menjadi bukti betapa pentingnya kesungguhan dalam mencari ilmu. Fokus dan dedikasi beliau dalam dunia keilmuan telah memberikan kontribusi luar biasa bagi umat Islam hingga hari ini. Benarlah mimpi sang ayah—beliau menjadi penjaga syariat Islam melalui karya-karyanya yang abadi.
Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk terus bersemangat dalam menuntut ilmu dan mewariskan manfaat bagi generasi mendatang.
Sumber: Ananul Nahari Hayunah.
Generasi Tarbiyah Qurani (Genta Qurani), adalah yayasan yang menaungi Pesantren Daarul Mutqin, Megamendung, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kurikulum kami berfokus pada hafalan (tahfidz) Al Quran dengan beragam program yang ditawarkan untuk berbagai kalangan dan tingkatan usia.