Pacaran dengan AI: Solusi Kesepian atau Justru Memperdalam Luka?
Pernahkah kita membayangkan suatu hari nanti, anak-anak remaja kita akan menjalin hubungan emosional dengan sesuatu yang bahkan tidak bernyawa?
Bukan dengan teman sebaya, bukan pula dengan sahabat karib, melainkan dengan chatbot kecerdasan buatan. Fenomena yang terdengar seperti cerita fiksi ilmiah ini ternyata sudah menjadi kenyataan di tengah-tengah kita.
Sebagai orang tua yang mencintai Al-Qur'an, tentu kita paham betul bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam Surah Al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَـٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal."
Ayat ini dengan tegas mengingatkan bahwa Allah menciptakan kita untuk saling mengenal, berinteraksi, dan membangun hubungan yang bermakna dengan sesama manusia. Namun, apa yang terjadi ketika generasi muda kita justru memilih berinteraksi dengan algoritma ketimbang manusia?
DAFTAR ISI
- Ketika Chatbot Menjadi "Pacar Idaman"
- Peringatan Para Ahli: Kesepian yang Semakin Dalam
- Dampak Serius pada Keterampilan Sosial
- Generasi yang Rapuh Secara Emosional
- Peran Orang Tua dalam Menghadapi Fenomena Ini
- Ketika AI Bisa Bermanfaat
- Nasihat untuk Mereka yang Mulai Terlibat Emosional dengan AI
- Penutup: Kembali kepada Fitrah
- Berikan Anak Kita Lingkungan yang Membangun Jiwa, Bukan Sekadar Mengisi Waktu
Ketika Chatbot Menjadi "Pacar Idaman"
Bayangkan skenario ini: setiap pagi, ada pesan hangat yang menyapa. Tidak pernah lupa ulang tahun, tidak pernah marah-marah, selalu membalas dalam hitungan detik. Kedengarannya seperti pasangan sempurna, bukan? Sayangnya, "pasangan" ini hanyalah program komputer yang dirancang untuk merespons input kita.
Data terkini dari Amerika Serikat mengungkapkan fakta yang cukup mengkhawatirkan. Satu dari lima siswa sekolah menengah di sana memiliki atau mengenal seseorang yang menjalin hubungan romantis dengan AI. Bahkan, 42 persen dari mereka menggunakan AI untuk tujuan pertemanan. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cerminan dari sebuah krisis sosial-emosional yang sedang menghampiri generasi muda kita.
Tren ini tidak hanya terjadi di Barat. Laporan McAfee di India menunjukkan bahwa 46 persen responden berusia 18–30 tahun berbincang dengan alat AI untuk mencari kenyamanan atau teman. Yang lebih mencengangkan, ada kasus-kasus di mana pengguna sampai melamar, bahkan "menikahi" chatbot mereka. Subhanallah, sampai sejauh itukah kesepian telah membelenggu hati anak-anak muda?
Peringatan Para Ahli: Kesepian yang Semakin Dalam
Ayesha Sharma, seorang psikoterapis dari Mumbai, menjelaskan bahwa orang-orang beralih ke chatbot AI untuk mengisi kekosongan karena tidak memiliki akses konstan kepada orang lain. "Karena AI tidak membantah atau menghakimi, ini memberikan pengguna rasa memiliki dan penerimaan," ungkapnya seperti dikutip dari laman Hindustan Times.
Inilah yang menjadi daya tarik sekaligus bahaya dari AI. Berbeda dengan pasangan manusia yang memiliki emosi, kebutuhan, dan batasan, AI tersedia 24/7, selalu mengiyakan, dan tidak pernah menuntut. Dr. Jyoti Mishra, konsultan senior psikologi di Apollo Spectra Hospital, Delhi, menjelaskan bahwa fenomena respons instan ini mengaktifkan pusat penghargaan di otak yang sama dengan yang terkait dengan kasih sayang.
"Garis antara kasih sayang dan cinta menjadi kabur karena orang memproyeksikan kedalaman emosional pada AI," tegas dr. Jyoti.
Sebagai muslim, kita tentu memahami bahwa kasih sayang dan cinta sejati adalah anugerah Allah yang hanya bisa tumbuh dalam hubungan antarmanusia. Allah berfirman dalam Surah Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang."
Ketentraman (sakinah), kasih sayang (mawaddah), dan rahmat (rahmah) yang disebutkan dalam ayat ini hanya bisa tercipta dalam hubungan manusia dengan manusia. Tidak ada algoritma yang bisa menggantikan kehangatan pelukan, ketulusan tatapan mata, atau keikhlasan sebuah pengorbanan.
Dampak Serius pada Keterampilan Sosial

Komunikasi hangat keluarga muslim - Peran orang tua dalam membimbing anak remaja di era digital
Rupa Chaubal, seorang psikoterapis, menyoroti dampak jangka panjang yang lebih serius. Menurutnya, interaksi sosial melibatkan proses kompleks seperti membaca isyarat wajah, bahasa tubuh, mengolah konteks, dan mengatur emosi secara real-time. Komunikasi dengan AI tidak memiliki banyak proses krusial dalam perkembangan emosional remaja ini, yang pada akhirnya akan memengaruhi empati, kasih sayang, dan kesabaran—faktor kunci untuk bertahan di dunia nyata.
Program-program AI memang mampu meniru emosi, tetapi mereka tidak memiliki emosi nyata. Mereka sering mengatakan apa yang kita inginkan, bukan apa yang kita butuhkan. "Ini bisa terasa memberdayakan atau meningkatkan ego, tetapi Anda tidak lagi terlibat dalam pertukaran yang sehat; Anda memuntahkan apa yang sudah ada di pikiran Anda dan salah mengartikannya sebagai hubungan," kata Chaubal.
Bagi kita yang memiliki anak remaja, ini adalah peringatan serius. Anak-anak kita yang sedang dalam masa pembentukan karakter justru belajar berkomunikasi dengan sesuatu yang hanya mengatakan apa yang mereka mau dengar. Bagaimana mereka akan belajar bersabar menghadapi perbedaan pendapat? Bagaimana mereka akan memahami arti berkompromi dan memaafkan?
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لَا يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
"Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka, lebih besar pahalanya daripada mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka." (HR. Tirmidzi)
Hadits ini mengajarkan bahwa interaksi dengan sesama manusia, meski kadang menyakitkan, adalah bagian dari proses pendewasaan dan pembentukan karakter yang mulia.
Generasi yang Rapuh Secara Emosional
Para ahli khawatir ketergantungan pada AI menciptakan masyarakat yang rapuh secara emosional, terutama di kalangan Generasi Z dan milenial muda yang tumbuh di tengah dunia online dan terpengaruh oleh isolasi pandemi.
"Kita sedang membiakkan masyarakat yang rapuh di mana setiap ketidaksepakatan berarti memutus hubungan dengan orang lain. AI mencerminkan apa yang ingin Anda dengar, bukan apa yang Anda butuhkan," ujar Sharma.
Bahaya terbesarnya, menurut Sharma, bukanlah orang jatuh cinta pada AI, melainkan mereka berhenti mengharapkan kompleksitas dari cinta manusia. Tanpa konflik dan kompromi yang merupakan bagian integral dari hubungan antarmanusia, ketahanan emosional melemah, dan hubungan nyata berisiko menjadi transaksional.
Sebagai orang tua muslim, kita perlu mengajarkan anak-anak kita tentang konsep sabr (kesabaran) dalam Islam yang menjadi fondasi setiap hubungan yang sehat. Kesabaran adalah salah satu sifat yang paling banyak disebutkan dalam Al-Qur'an, dan ia adalah pondasi dari setiap interaksi manusiawi yang bermakna.
Peran Orang Tua dalam Menghadapi Fenomena Ini

Komunikasi hangat keluarga muslim - Peran orang tua dalam membimbing anak remaja di era digital
Sebagai orang tua, kita memiliki tanggung jawab besar untuk membimbing anak-anak kita di era digital ini. Berikut beberapa langkah yang bisa kita ambil:
1. Membuka Ruang Komunikasi yang Hangat
Ciptakan suasana di rumah di mana anak merasa nyaman berbagi perasaan mereka. Jangan menghakimi, tetapi dengarkan dengan penuh empati. Jika anak merasa didengarkan dan dipahami di rumah, mereka tidak perlu mencari pelarian ke chatbot AI.
2. Mengajarkan Keterampilan Sosial Melalui Teladan
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Tunjukkan bagaimana kita sebagai orang tua mengelola konflik dengan pasangan, bagaimana kita memaafkan, dan bagaimana kita bersabar menghadapi kesulitan dalam hubungan.
3. Mendorong Aktivitas Sosial di Dunia Nyata
Dorong anak untuk terlibat dalam kegiatan yang melibatkan interaksi langsung dengan teman sebaya, seperti kajian remaja di masjid, kegiatan ekstrakurikuler, atau acara sosial keluarga.
4. Mengajarkan Prinsip-Prinsip Islam tentang Hubungan
Ajarkan anak-anak kita tentang konsep ukhuwah (persaudaraan), ta'awun (tolong-menolong), dan rahmah (kasih sayang) dalam Islam. Jelaskan bahwa hubungan yang diberkahi Allah adalah hubungan yang dibangun atas dasar ketakwaan dan saling mengingatkan dalam kebaikan.
5. Memantau Penggunaan Teknologi
Tanpa harus menjadi orang tua yang terlalu protektif, kita perlu bijak memantau bagaimana anak menggunakan teknologi. Bukan untuk mengekang, tetapi untuk membimbing mereka menuju penggunaan teknologi yang sehat dan bertanggung jawab.
Ketika AI Bisa Bermanfaat
Meskipun demikian, kita tidak bisa menafikan bahwa AI memiliki potensi manfaat jika digunakan dengan bijak dan etis. Krishna Veer Singh, CEO & co-founder platform kesehatan mental Lissun, berpendapat alat AI etis harus diatur untuk mengidentifikasi kesulitan dan mengarahkan pengguna ke bantuan profesional. Tujuannya adalah membangun kekuatan emosional dunia nyata, bukan ketergantungan digital.
Misalnya, AI bisa menjadi alat bantu untuk anak-anak kita dalam belajar, mencari informasi, atau bahkan sebagai teman latihan berbicara bahasa asing. Yang penting adalah penggunaannya tetap dalam koridor yang sehat dan tidak menggantikan interaksi manusia yang sesungguhnya.
Nasihat untuk Mereka yang Mulai Terlibat Emosional dengan AI

Al-Qur'an terbuka dengan pencahayaan natural yang hangat, disertai tasbih di sampingnya.
Dr. Archana Sharma dari Sri Balaji Action Medical Institutes memberikan saran tegas bagi mereka yang mulai mengembangkan perasaan romantis pada AI: "Ingatkan diri Anda bahwa semua responsnya diprogram dan digerakkan oleh algoritma; mereka tidak memiliki emosi nyata. Selalu prioritaskan hubungan manusia yang menawarkan timbal balik dan koneksi sosial yang otentik."
Sebagai muslim, kita bisa menambahkan: ingatlah bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui isi hati kita yang sebenarnya. Hanya Dia yang bisa memberikan ketenangan sejati. Allah berfirman dalam Surah Ar-Ra'd ayat 28:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
Ketenangan hati yang hakiki tidak akan pernah didapatkan dari algoritma atau program komputer, betapapun canggihnya. Ketenangan sejati hanya datang dari kedekatkan kita dengan Allah dan hubungan yang sehat dengan sesama manusia.
Penutup: Kembali kepada Fitrah
Fenomena pacaran dengan AI adalah pengingat bagi kita semua tentang krisis spiritual dan emosional yang sedang melanda generasi muda. Sebagai orang tua muslim yang mencintai Al-Qur'an, kita memiliki amanah besar untuk mengembalikan anak-anak kita kepada fitrah mereka sebagai makhluk sosial yang diciptakan Allah untuk saling mengenal, saling mencintai, dan saling menguatkan dalam kebaikan.
Mari kita jadikan rumah kita sebagai tempat di mana anak-anak merasa dicintai, didengar, dan dipahami. Sehingga mereka tidak perlu mencari pelarian ke dunia digital yang semu. Dan yang terpenting, mari kita ajarkan kepada mereka bahwa cinta sejati, ketenangan hati, dan kebahagiaan hakiki hanya bisa ditemukan dalam hubungan yang diberkahi Allah—baik hubungan dengan-Nya maupun dengan sesama manusia.
Wallahu a'lam bisshawab.
Atribusi: Artikel ini ditulis berdasarkan laporan "Fenomena 'Pacaran' Sama AI, Obat Kesepian atau Malah Bikin Parah?" oleh Qommarria Rostanti, yang dipublikasikan di Ameera Republika pada 30 Oktober 2025.
Berikan Anak Kita Lingkungan yang Membangun Jiwa, Bukan Sekadar Mengisi Waktu
Setelah membaca ini, mungkin kita bertanya: bagaimana cara konkret melindungi anak-anak kita dari jebakan digital yang semakin canggih? Bagaimana kita bisa memastikan masa remaja mereka diisi dengan hal-hal yang membangun karakter, bukan yang merusak?
Jawabannya sederhana namun mendalam: kembalikan mereka kepada Al-Qur'an dan lingkungan yang menguatkan iman.
Di Pesantren Daarul Mutqin Genta Qurani, kami memahami kekhawatiran Ayah Bunda. Kami tahu Anda ingin anak menghafal Al-Qur'an, tetapi juga khawatir akademisnya tertinggal. Atau sebaliknya, ingin fokus akademis tapi takut hafalannya tidak maksimal.
Program Santri Tahfidz Al-Qur'an SMP/SMA 3 Tahun kami dirancang menjawab dilema ini:
Tahun Pertama: 80% fokus menghafal Al-Qur'an dengan metode yang terbukti efektif. Target: mutqin 30 juz.
Tahun Kedua: Program bilingual (Arab-Inggris) dengan tetap menjaga hafalan dan memperdalam ilmu diniyyah.
Tahun Ketiga: Skill project, akademis berijazah SMP/SMA, dan persiapan kuliah—dengan hafalan Al-Qur'an yang tetap terjaga.
Bayangkan: anak kita di usia 18 tahun sudah hafal 30 juz Al-Qur'an, fasih berbahasa Arab dan Inggris, memiliki ijazah formal, plus siap melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Bukan sekadar menghafal, tetapi memahami. Bukan hanya pintar, tetapi berakhlak mulia.
Di tengah dunia yang semakin digital dan semu, berikan anak kita fondasi yang kokoh: Al-Qur'an di hati, ilmu di kepala, dan akhlak di jiwa.
Informasi Lengkap:
🌐 gentaqurani.id/santri-al-quran
📱 WhatsApp: 0812-2650-2573 | 0813-9830-0644
📍 Sirnagalih, Megamendung, Bogor, Jawa Barat
Investasi terbaik untuk anak bukan harta, tetapi Al-Qur'an yang tertanam dalam dada mereka.
Generasi Tarbiyah Qurani (Genta Qurani), adalah yayasan yang menaungi Pesantren Daarul Mutqin, Megamendung, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kurikulum kami berfokus pada hafalan (tahfidz) Al Quran dengan beragam program yang ditawarkan untuk berbagai kalangan dan tingkatan usia.

