Tragedi Masjid Sibolga: Ketika Rumah Allah Kehilangan Rahmah
Masjid sejatinya adalah pelabuhan teraman bagi siapa saja yang mencari keteduhan. Lebih dari sekadar bangunan dengan kubah dan menara, ia adalah simbol kasih sayang Allah yang terbentang untuk seluruh hamba-Nya—tanpa pandang bulu, tanpa syarat yang berlebihan.
Namun, beberapa waktu yang lalu, kita semua terhenyak. Sebuah peristiwa memilukan mengguncang Kota Sibolga, Sumatera Utara, dan memaksa kita bertanya: bagaimana mungkin di rumah Allah, seseorang justru kehilangan nyawanya?
DAFTAR ISI
- Tragedi yang Melukai Nurani
- Ayat yang Terabaikan
- Ketika Adab Disalahpahami
- Dakwah yang Kehilangan Ruh
- Pelajaran untuk Orang Tua: Mendidik Anak dengan Empati
- Masjid: Kembali ke Esensi Rahmatan lil 'Alamin
- Keadilan yang Harus Ditegakkan
- Panggilan untuk Berbenah
- Doa dan Harapan
- Membentuk Generasi Qurani yang Berakhlak Mulia
Tragedi yang Melukai Nurani
Pada dini hari Jumat, 31 Oktober 2024, seorang pemuda bernama Arjuna Tamaraya (21 tahun) meninggal dunia setelah mengalami penganiayaan brutal di area Masjid Agung Sibolga. Mahasiswa yang berasal dari Kelurahan Kalangan, Kabupaten Tapanuli Tengah ini hanya ingin beristirahat sejenak. Sebagai perantau, mungkin ia tak memiliki tempat untuk memejamkan mata. Atau mungkin ia tengah dalam perjalanan panjang yang melelahkan.
Namun, alih-alih mendapat ketenangan, Arjuna justru dikeroyok oleh lima orang yang merasa terganggu dengan kehadirannya. Dipukul, ditendang, diseret keluar masjid hingga kepalanya terbentur anak tangga. Bahkan ada pelaku yang melemparkan buah kelapa ke kepalanya yang sudah berdarah. Semua kekejaman ini terekam jelas dalam CCTV masjid—lebih jujur dari hati para pelaku yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya.
Arjuna ditemukan tak sadarkan diri oleh petugas masjid dan segera dibawa ke RSUD Dr. F.L. Tobing Sibolga. Namun luka berat di kepalanya terlalu parah. Pada Sabtu pagi, 1 November 2024, sekitar pukul 05.55 WIB, Arjuna menghembuskan napas terakhirnya. Seorang pemuda yang hanya ingin tidur, kini tidur untuk selamanya—meninggalkan keluarga dalam kesedihan mendalam dan meninggalkan kita semua dengan pertanyaan yang mengganjal.
Ayat yang Terabaikan

Ilustrasi Ayat Al-Quran
Ketika mendengar peristiwa ini, hati kita seakan ditampar oleh firman Allah SWT dalam Surah Al-Maidah ayat 32:
مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا ۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًا
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia." (QS. Al-Maidah: 32)
Ayat ini begitu tegas, begitu jelas. Membunuh satu nyawa tanpa alasan yang dibenarkan adalah seperti membunuh seluruh umat manusia. Bukan hanya dosa besar, tetapi juga pengingkaran terhadap nilai paling mendasar dalam Islam: penghormatan terhadap kehidupan.
Lantas, pertanyaan yang mencuat: apakah khutbah-khutbah yang disampaikan setiap Jumat selama ini sudah menyentuh esensi paling dasar dari ajaran agama? Atau jangan-jangan pesan-pesan tentang kemanusiaan justru tenggelam di antara pembahasan-pembahasan teknis yang terlalu rumit, sementara hati jamaah tetap kering dari empati?
Ketika Adab Disalahpahami
Memang benar, ada adab di masjid. Ada tata cara yang perlu dijaga agar kesucian dan kekhusyukan tetap terjaga. Tidak diperbolehkan berbaring atau tidur di dalam masjid adalah salah satu aturan yang dipahami sebagian kalangan. Namun, adab yang sejati bukanlah sekadar hafalan aturan tanpa pemahaman akan ruh di baliknya.
Adab dalam Islam tidak pernah mengajarkan kita untuk menganiaya sesama. Tidak ada dalam ajaran Rasulullah SAW yang memerintahkan kita menendang kepala seseorang, menyeretnya seperti karung beras, atau melemparkan kelapa ke kepalanya hingga berdarah. Jika memang ada yang perlu ditegur, Islam mengajarkan cara yang penuh hikmah dan lemah lembut.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah itu lembut, Dia mencintai kelembutan dalam segala urusan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Arjuna mungkin memang keliru dengan memilih untuk tidur di dalam masjid. Tetapi kesalahan kecil itu tidak sepatutnya dibalas dengan kekerasan yang berujung pada kematian. Pengurus masjid atau siapa pun yang merasa bertanggung jawab seharusnya bisa membangunkannya dengan cara yang baik, memberikan pemahaman dengan santun, atau bahkan mengarahkannya ke tempat yang lebih layak untuk beristirahat.
Dakwah yang Kehilangan Ruh
Peristiwa tragis ini juga mengajak kita berefleksi lebih dalam: sejauh mana dakwah di masjid-masjid kita menyentuh kehidupan nyata jamaah? Para pelaku penganiayaan adalah warga sekitar masjid, bukan orang asing yang tidak pernah mendengar ceramah atau khutbah. Mereka adalah orang-orang yang mungkin rutin salat berjamaah, yang mungkin hadir di berbagai kajian. Namun mengapa ajaran tentang kasih sayang, tentang menghargai nyawa, dan tentang akhlak terhadap sesama tampaknya tidak tertanam dalam hati mereka?
Bisa jadi, dakwah yang mereka terima selama ini terlalu fokus pada aspek ritual dan hukum-hukum fiqih yang detail, sementara aspek pembentukan karakter dan kepekaan sosial terabaikan. Atau mungkin para dai dan khatib yang hadir hanya sekadar "menggugurkan kewajiban" tanpa benar-benar memahami kondisi riil jamaah yang dihadapi.
Masjid seharusnya menjadi pusat transformasi moral. Bukan hanya tempat orang datang, mendengar, lalu pulang tanpa perubahan apa pun dalam sikap dan perilaku. Dakwah yang efektif adalah dakwah yang mampu mengubah hati, yang mampu membuat seseorang berpikir dua kali sebelum menyakiti orang lain, yang menanamkan rasa takut kepada Allah bukan hanya saat beribadah, tetapi juga saat berinteraksi dengan sesama.
Pelajaran untuk Orang Tua: Mendidik Anak dengan Empati

Keluarga Muslim sedang membaca Al-Quran bersama
Bagi kita sebagai orang tua yang mencintai Al-Qur'an dan berusaha mendidik anak-anak remaja kita dengan nilai-nilai Islam, tragedi ini adalah pengingat yang sangat keras. Anak-anak kita saat ini berada di usia SMP dan SMA—usia di mana mereka mulai membentuk karakter, mulai berinteraksi lebih luas dengan masyarakat, dan mulai memahami apa arti menjadi seorang Muslim yang sejati.
Kita harus memastikan bahwa pendidikan agama yang mereka terima tidak hanya berkutat pada hafalan dan ritual, tetapi juga pada pembentukan empati dan akhlak mulia. Ajarkan mereka untuk tidak hanya memikirkan halal-haram secara teknis, tetapi juga untuk merasakan penderitaan orang lain, untuk mengulurkan tangan kepada yang lemah, dan untuk menjaga kehormatan serta keselamatan sesama manusia.
Ceritakan kepada mereka bagaimana Rasulullah SAW sangat perhatian terhadap orang-orang miskin dan lemah. Bagaimana beliau melarang para sahabat mengusir pengemis dari masjid. Bagaimana beliau menegur sahabat yang kasar terhadap orang lain. Ajak mereka memahami bahwa menjadi Muslim yang baik bukan hanya soal rajin salat dan puasa, tetapi juga soal bagaimana kita memperlakukan sesama dengan penuh kasih sayang.
Masjid: Kembali ke Esensi Rahmatan lil 'Alamin
Sudah saatnya kita mengembalikan fungsi masjid kepada esensi sebenarnya. Masjid bukan hanya tempat salat lima waktu atau tempat berkumpul untuk kajian rutin. Lebih dari itu, masjid adalah pusat peradaban, pusat pembinaan karakter, dan pusat kasih sayang bagi seluruh umat.
Jika di negara-negara lain, rumah ibadah sudah menjadi pusat konseling keluarga, pusat rehabilitasi sosial, dan bahkan pusat dialog lintas agama, mengapa masjid-masjid kita masih sibuk dengan perdebatan-perdebatan kecil yang tidak menyentuh inti permasalahan? Mengapa energi kita lebih banyak tersedot untuk mengurusi hal-hal teknis, sementara nilai-nilai kemanusiaan yang sejatinya adalah ruh dari ajaran Islam justru terabaikan?
Kita perlu khatib-khatib yang tidak hanya cerdas secara tekstual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial. Kita perlu pengurus masjid yang tidak hanya memahami aturan-aturan administratif, tetapi juga memiliki hati yang lembut dan mampu merangkul siapa saja yang datang ke masjid. Kita perlu jamaah yang tidak hanya rajin beribadah, tetapi juga memiliki akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari.
Keadilan yang Harus Ditegakkan
Alhamdulillah, aparat kepolisian bertindak cepat dalam kasus ini. Tiga dari lima pelaku telah ditangkap dalam waktu kurang dari 24 jam setelah kejadian. Mereka adalah ZP (57 tahun), HB (46 tahun), dan SS (40 tahun) yang kini dijerat dengan pasal pembunuhan dan pencurian dengan kekerasan—karena salah satu pelaku bahkan sempat mengambil uang Rp10.000 dari saku celana Arjuna yang sudah tak berdaya.
Kita berharap proses hukum berjalan dengan adil dan transparan. Bukan hanya untuk memberikan efek jera kepada para pelaku, tetapi juga untuk mengirimkan pesan tegas kepada masyarakat: bahwa nyawa manusia itu berharga, bahwa kekerasan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun, dan bahwa masjid harus dijaga kesuciannya—bukan dengan mengusir orang, tetapi dengan menanamkan nilai-nilai kasih sayang dalam setiap jamaahnya.
Panggilan untuk Berbenah
Tragedi Arjuna Tamaraya di Masjid Agung Sibolga adalah alarm yang tidak boleh kita matikan, betapa pun menyakitkan suaranya. Ini adalah panggilan untuk kita semua—pengurus masjid, para dai dan khatib, para pendidik, dan seluruh umat Islam—untuk berbenah diri.
Mari kita jadikan masjid sebagai rumah yang benar-benar penuh rahmah. Rumah yang tidak hanya indah secara fisik, tetapi juga hangat secara sosial. Tempat di mana siapa pun yang datang—entah ia orang kaya atau miskin, penduduk lokal atau perantau, yang alim atau yang masih belajar—akan disambut dengan senyuman, diperlakukan dengan hormat, dan dibimbing dengan penuh kasih sayang.
Mari kita pastikan bahwa setiap khutbah, setiap ceramah, dan setiap kajian yang disampaikan di masjid tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga menyentuh hati dan mengubah perilaku. Bahwa dakwah yang kita sampaikan mampu menjadikan jamaah sebagai pribadi-pribadi yang tidak hanya takut kepada Allah dalam ritual ibadah, tetapi juga dalam cara mereka memperlakukan sesama.
Dan mari kita sebagai orang tua, terus mendidik anak-anak kita dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Bacakan kepada mereka ayat-ayat Al-Qur'an yang mengajarkan tentang kasih sayang. Ceritakan kisah-kisah Nabi yang penuh teladan. Dan yang terpenting, tunjukkan dengan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari bagaimana menjadi Muslim yang berakhlak mulia.
Doa dan Harapan

Siluet orang shalat di masjid saat golden hour
Semoga Allah SWT merahmati Arjuna Tamaraya, menerima amal baiknya, dan mengampuni segala kesalahannya. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran dan ketabahan menghadapi ujian yang begitu berat ini.
Semoga tragedi ini menjadi titik balik bagi kita semua untuk merenung: sudahkah kita menjadi Muslim yang sesungguhnya? Sudahkah masjid-masjid kita menjadi tempat yang benar-benar memancarkan cahaya kemanusiaan?
Dan semoga, dari kepergian Arjuna yang begitu tragis, lahir kesadaran kolektif bahwa Islam adalah agama rahmatan lil 'alamin—rahmat bagi seluruh alam. Bukan agama yang menakut-nakuti, bukan agama yang mengusir, apalagi agama yang menganiaya.
Ya Allah, lindungilah masjid-masjid kami dari segala bentuk kekerasan dan kezaliman. Jadikanlah ia benar-benar sebagai rumah-Mu yang penuh kedamaian. Aamiin ya Rabbal 'alamin.
Catatan Penulis: Artikel ini terinspirasi dari opini "Setan Masjid" karya Ahmadie Thaha dan Widodo Bogiarto yang dimuat di RMol.id pada 3 November 2025. Semoga refleksi ini bermanfaat bagi kita semua dalam menjaga dan memulihkan esensi masjid sebagai rumah Allah yang penuh rahmat.
Membentuk Generasi Qurani yang Berakhlak Mulia
Setelah merenungkan tragedi ini, mungkin ada pertanyaan yang menggelitik di hati kita sebagai orang tua: "Bagaimana caranya agar anak kita tidak hanya hafal ayat, tapi juga memahami dan menghayati setiap makna kemanusiaan di dalamnya?"
Jawabannya sederhana namun membutuhkan komitmen: lingkungan yang tepat dan pendidikan yang holistik.
Di era di mana anak-anak kita terpapar begitu banyak pengaruh—dari media sosial hingga pergaulan yang tidak selalu positif—kita membutuhkan lebih dari sekadar les tambahan atau kajian rutin seminggu sekali. Kita membutuhkan sebuah ekosistem yang benar-benar membentuk karakter, membangun kedekatan dengan Al-Qur'an, sekaligus mempersiapkan mereka untuk masa depan yang gemilang.
Program Santri Tahfidz Al-Qur'an 3 Tahun Pesantren Daarul Mutqin Genta Qurani hadir dengan pendekatan unik: 80% fokus tahfidz di tahun pertama, dilanjutkan dengan program bilingual (Arab-Inggris) dan critical thinking di tahun kedua, serta skill project dan persiapan kuliah di tahun ketiga.
Bukan hanya menghafal 30 juz, tapi juga membentuk pribadi yang: ✨ Mutqin dalam hafalan ✨ Kuat dalam pondasi diniyyah (aqidah, fiqih, siroh, adab) ✨ Siap berkompetisi secara akademis (berijazah SMP/SMA) ✨ Terlatih berpikir kritis dan berbahasa internasional
Bayangkan: anak kita tidak hanya menjadi penghafal Al-Qur'an, tapi juga pelaku nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Generasi yang tidak akan pernah menyakiti sesama, apalagi di rumah Allah.
Info lengkap: gentaqurani.id/santri-al-quran | WA: 0812-2650-2573 / 0813-9830-0644 📍 Sirnagalih, Megamendung, Bogor, Jawa Barat
Generasi Tarbiyah Qurani (Genta Qurani), adalah yayasan yang menaungi Pesantren Daarul Mutqin, Megamendung, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kurikulum kami berfokus pada hafalan (tahfidz) Al Quran dengan beragam program yang ditawarkan untuk berbagai kalangan dan tingkatan usia.

