Skip to main content
Ilustrasi Perundungan

Ketika Tawa Menjadi Senjata: Refleksi untuk Orang Tua di Tengah Maraknya Perundungan

"Tak semua yang membunuh membawa senjata; sebagian hanya membawa kata."

Pernahkah kita berpikir, bahwa di zaman yang katanya penuh kemajuan ini, cara kita melukai sesama justru makin halus? Tidak perlu mengangkat tangan, cukup dengan menertawakan. Tidak perlu berteriak marah, cukup dengan mengabaikan keberadaan seseorang. Dan yang paling menyakitkan, semua itu kini bisa dilakukan dengan mudah—hanya dengan sekali sentuhan jari di layar ponsel.

Berita duka dari Bali mengguncang hati kita semua. Seorang mahasiswa Universitas Udayana harus membayar dengan nyawanya sendiri akibat dari tawa-tawa yang sepele. Tragedi ini bukan sekadar berita di media, melainkan alarm keras yang mengingatkan kita: perundungan atau bullying telah menjadi ancaman nyata bagi generasi muda kita—termasuk anak-anak remaja kita yang sedang duduk di bangku SMP dan SMA.

DAFTAR ISI

Perundungan: Luka yang Tak Terlihat Mata

01 muslim teenager reading quran

Sebagai orang tua yang mencintai Al-Qur'an, kita tentu paham betul bagaimana Islam mengajarkan pentingnya menjaga lisan dan menghormati sesama. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 11:

"يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ"

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)."

Ayat ini turun lebih dari 1400 tahun yang lalu, namun relevansinya justru makin terasa di masa kini. Perundungan yang kita saksikan hari ini bukanlah sekadar ejekan di sudut kelas yang akan hilang setelah bel pulang berbunyi. Ia telah menjelma menjadi sistem sosial yang kejam, bekerja tanpa henti di balik layar ponsel pintar yang selalu menemani anak-anak kita.

Dunia maya telah menjadi gelanggang perundungan massal. Di sana, manusia dengan mudahnya menertawakan sesamanya demi mendapat perhatian sesaat. Sebuah komentar pedas, satu meme lucu yang sebenarnya menyakitkan, atau bahkan sekadar emoji tertawa di unggahan seseorang—semua itu bisa menjadi pisau yang mencabik harga diri anak remaja kita.

Generasi Kita Bukan Generasi yang Lemah

02 social media pressure teen

Mari kita luruskan satu kesalahpahaman yang sering muncul: generasi anak-anak kita hari ini bukanlah generasi yang lemah atau terlalu sensitif. Mereka hanya hidup di zaman yang jauh lebih bising dan kejam dibanding zaman kita dulu.

Dulu, di era 1980-an atau 1990-an, perundungan mungkin juga ada. Anak-anak berkelahi, saling ejek, bahkan saling pukul. Tapi ada satu perbedaan mendasar: luka-luka itu berhenti saat bel pulang berbunyi. Anak yang dipukul bisa membalas, dan besoknya mereka bisa berdamai di lapangan sekolah. Luka fisik sembuh, dan harga diri masih punya ruang untuk bangkit kembali.

Sekarang? Perundungan tidak mengenal waktu istirahat. Ia mengikuti anak kita pulang ke rumah, menemani mereka di kamar, bahkan masuk ke dalam mimpi mereka. Sebuah video memalukan bisa tersebar dalam hitungan detik ke ratusan bahkan ribuan orang. Komentar jahat terus berdatangan walau sudah tengah malam. Dan yang paling menyakitkan, jejak digital itu akan terus ada—menjadi pengingat yang tak pernah hilang tentang momen paling memalukan dalam hidup mereka.

Bayangkan bagaimana rasanya jika harga diri kita dinilai dari jumlah likes? Jika kehidupan sosial kita bisa hancur hanya karena satu video berdurasi tiga detik? Generasi anak-anak kita hidup di dunia yang menuntut mereka tampil sempurna, tapi pada saat yang sama dengan mudahnya menertawakan mereka yang rapuh. Dunia yang pandai menasihati, tapi jarang benar-benar memeluk.

Tragedi Udayana: Cermin Buram Kita Bersama

Kejadian di Universitas Udayana adalah peringatan yang tak boleh kita abaikan. Ia menunjukkan bahwa perundungan bukan sekadar candaan remeh atau "becanda biasa". Perundungan adalah bentuk kekerasan yang nyata—yang memukul tanpa menggunakan tangan, yang melukai tanpa menumpahkan darah, dan yang bisa membunuh tanpa senjata.

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits:

"الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ"

"Seorang Muslim (yang sejati) adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini mengajarkan kita bahwa menjaga lisan sama pentingnya dengan menjaga tangan dari menyakiti orang lain. Bahkan dalam konteks modern ini, lisan yang dimaksud tidak hanya ucapan langsung, tapi juga kata-kata yang kita ketik, komentar yang kita tinggalkan, dan konten yang kita bagikan di media sosial.

Perundungan tumbuh subur dari ketidakpedulian. Ia lahir dari keinginan untuk merasa lebih tinggi dengan cara menjatuhkan orang lain. Ia berkembang pesat di masyarakat yang lebih cepat menghakimi daripada berusaha memahami. Dan yang paling menyakitkan, kita semua—tanpa sadar—bisa jadi bagian dari sistem yang mematikan ini.

Diam Adalah Bentuk Dukungan yang Paling Sunyi

Ada sebuah kebenaran pahit yang perlu kita hadapi bersama: ketika kita memilih diam menyaksikan perundungan, kita sebenarnya sedang memberi dukungan kepada pelaku. Diam adalah bentuk persetujuan yang paling sunyi. Diam adalah tangan yang tak tampak namun ikut mendorong korban ke jurang yang dalam.

Kita mungkin merasa tidak terlibat karena tidak ikut menertawakan atau berkomentar jahat. Tapi ketika kita melihat ada yang sedang dirundung—baik itu teman anak kita di sekolah, atau bahkan orang asing di media sosial—dan kita memilih untuk tidak berbuat apa-apa, kita sebenarnya telah menjadi bagian dari masalah.

Allah SWT mengingatkan kita dalam Surah Al-Ma'idah ayat 2:

"وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ"

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan."

Ayat ini mengajarkan kita untuk aktif dalam kebaikan. Bukan hanya tidak berbuat jahat, tapi juga harus berani membela yang benar dan melindungi yang lemah. Ini adalah prinsip dasar yang harus kita tanamkan kepada anak-anak kita.

Pola yang Terus Berulang: Berduka Tanpa Berubah

Setiap kali ada korban perundungan yang berakhir tragis, kita menyaksikan pola yang sama berulang. Media sosial ramai dengan tagar solidaritas. Orang-orang beramai-ramai menyalakan lilin virtual, menulis kalimat belasungkawa, dan berkata: "Semoga tenang di sana, semoga diterima di sisi-Nya."

Tapi kemudian apa? Setelah beberapa hari berlalu, kita kembali pada kebiasaan lama. Budaya menertawakan dan menghakimi terus dipelihara. Kita cepat berduka, tapi sangat lambat untuk berubah. Kita pandai berbicara tentang moral dan etika, tapi di saat yang sama masih menikmati pemandangan orang lain jatuh—lalu menulis komentar seolah-olah kita tidak tahu apa-apa.

Kematian mahasiswa Universitas Udayana itu bukan sekadar tragedi individual. Ia adalah cermin yang memantulkan kebusukan kolektif kita. Sebuah cermin yang menunjukkan bahwa kita telah menjadi bangsa yang kehilangan empati, bangsa yang mengira humor bisa menggantikan nurani. Kita sibuk mencetak sarjana-sarjana pintar, tapi gagal melahirkan manusia-manusia yang berperasaan dan berbelas kasih.

Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Orang Tua?

03 islamic family bonding

Sebagai orang tua Muslim yang mencintai Al-Qur'an dan ingin mendidik anak dengan nilai-nilai Islam yang luhur, ada beberapa hal penting yang bisa kita lakukan:

1. Jadilah Pendengar yang Baik

Anak remaja kita membutuhkan ruang untuk didengar tanpa dihakimi. Ciptakan suasana di rumah di mana mereka merasa aman untuk bercerita tentang apa pun—termasuk jika mereka sedang mengalami atau menyaksikan perundungan. Rasulullah SAW adalah pendengar yang luar biasa baik, bahkan untuk hal-hal yang tampak sepele.

2. Ajarkan Empati Sejak Dini

Bicarakan dengan anak-anak kita tentang bagaimana rasanya berada di posisi orang lain. Gunakan kisah-kisah dalam Al-Qur'an sebagai pelajaran. Misalnya, kisah Nabi Musa AS yang membela orang yang tertindas, atau kisah bagaimana Nabi Muhammad SAW memperlakukan orang-orang yang dianggap lemah di masyarakat Mekah.

3. Pantau Aktivitas Digital Mereka dengan Bijak

Bukan berarti kita harus menjadi orang tua yang terlalu mengekang, tapi kita perlu tahu apa yang anak-anak kita konsumsi dan produksi di dunia maya. Ajak mereka berdiskusi tentang etika bermedia sosial dalam perspektif Islam.

4. Jadilah Teladan

Anak-anak belajar paling banyak dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Jika kita sendiri masih suka bergosip, mengomentari penampilan orang lain, atau tertawa untuk hal-hal yang seharusnya tidak lucu, bagaimana kita bisa mengharapkan anak kita berbeda?

5. Berani Mengambil Tindakan

Jika anak kita menjadi korban perundungan, jangan anggap remeh. Segera komunikasikan dengan pihak sekolah dan cari solusi bersama. Jika anak kita yang menjadi pelaku, jangan membela dengan alasan "anak-anak biasa begitu". Koreksi dengan tegas namun penuh kasih sayang.

Simpati yang Berhenti di Layar

Kita hidup di masa yang aneh. Masa ketika simpati sering berhenti di layar ponsel, dan empati kehilangan wujud nyatanya. Kita terbiasa melihat luka dari jauh, seolah-olah itu bukan bagian dari kehidupan bersama kita. Kita merasa sudah cukup dengan mengetik "turut berduka" atau "semoga kuat", tanpa benar-benar berbuat sesuatu yang konkret.

Padahal yang dibutuhkan oleh korban perundungan bukanlah pembelaan yang besar atau dramatis. Mereka hanya butuh sedikit ruang untuk didengar. Mereka butuh tahu bahwa ada orang yang peduli, yang mau berdiri di samping mereka, yang tidak membiarkan mereka sendirian menghadapi badai.

Perundungan tidak selalu berawal dari niat jahat. Kadang ia justru tumbuh dari kebisuan orang-orang baik. Dan di situlah tragedi sering bermula: ketika kita tahu ada yang sedang terluka, tapi kita memilih untuk berpaling. Ketika kita sadar ada ketidakadilan, tapi kita lebih memilih zona nyaman kita.

Penutup: Mulai dari Diri Sendiri

Wallahu a'lam, hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Tapi satu hal yang pasti: perubahan harus dimulai dari diri kita sendiri. Dari rumah kita. Dari cara kita mendidik anak-anak kita. Dari cara kita memperlakukan sesama di dunia nyata maupun dunia maya.

Mari kita renungkan firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 148:

"لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَن ظُلِمَ"

"Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dizalimi."

Setiap kata yang kita ucapkan, setiap komentar yang kita tulis, setiap tawa yang kita tumpahkan—semua akan dimintai pertanggungjawabannya kelak. Tidak ada yang luput dari catatan malaikat. Maka jagalah lisan kita, jagalah jemari kita, dan yang terpenting, jagalah hati kita dari penyakit sombong dan suka merendahkan orang lain.

Anak-anak kita adalah amanah. Mereka adalah generasi penerus yang akan membawa nama baik atau buruk kita di dunia dan akhirat. Sudah saatnya kita tidak hanya mengajari mereka hafalan Al-Qur'an, tapi juga mengajarkan mereka untuk menghidupi nilai-nilai Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari—termasuk dalam berinteraksi dengan sesama.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Sumber: Artikel ini merupakan parafrase dari opini yang dimuat di Hidayatullah, 21 Oktober 2025, dengan judul "Merundung".

reguler 25 04 17

Membangun Benteng Akhlak di Tengah Badai Digital

Kita semua sepakat: dunia semakin keras terhadap anak-anak kita. Perundungan, tekanan media sosial, dan krisis nilai kemanusiaan bukan lagi ancaman yang jauh. Ia sudah di depan mata, mengintai dari balik layar yang setiap hari anak kita pegang.

Sebagai orang tua, kita bisa memilih: membiarkan mereka menghadapi badai sendirian, atau membekali mereka dengan pondasi iman yang kokoh sejak dini.

Al-Qur'an bukan sekadar hafalan. Ia adalah kompas moral, benteng akhlak, dan sumber kekuatan batin yang akan menuntun anak kita melewati segala ujian kehidupan—termasuk ujian perundungan, pertemanan yang toksik, dan tekanan dunia yang makin kompleks.

Bayangkan jika anak remaja kita tidak hanya pandai secara akademis, tapi juga memiliki hati yang penuh empati karena terbiasa menghayati ayat-ayat rahmat. Bayangkan jika mereka tumbuh menjadi generasi yang kuat secara mental dan berakhlak mulia.

Program Santri Al-Qur'an 3 Tahun SMP/SMA Pesantren Daarul Mutqin Genta Qurani hadir untuk mewujudkan harapan itu. Program yang mengintegrasikan tahfidz 30 juz, pendidikan akademis berijazah, bilingual (Arab-Inggris), dan persiapan kuliah—tanpa membuat anak Anda harus memilih antara Al-Qur'an atau masa depan.

Masa SMP dan SMA adalah masa emas. Inilah waktu yang tepat untuk menanamkan Al-Qur'an, bukan menundanya hingga "nanti".

Ingin tahu lebih lanjut?
🌐 Kunjungi: gentaqurani.id/santri-al-quran
📱 WhatsApp: 0812-2650-2573 | 0813-9830-0644
📍 Sirnagalih, Megamendung, Kab. Bogor, Jawa Barat


quran camp 2025 04 19

Generasi Tarbiyah Qurani (Genta Qurani), adalah yayasan yang menaungi Pesantren Daarul Mutqin, Megamendung, Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kurikulum kami berfokus pada hafalan (tahfidz) Al Quran dengan beragam program yang ditawarkan untuk berbagai kalangan dan tingkatan usia.

✓ Link berhasil disalin!
Diterbitkan Dikategori Blog.