Sebuah Renungan: Mustahil Ummat Muslim Merebut Kembali Peradaban Islam
Judul ini mungkin akan menjadi polemik untuk seorang yang tidak membaca sampai akhir. Jangan lupa budayakan membaca sampai selesai agar tidak salah paham dengan judul yang tertera.
Mustahil ummat Muslim merebut kembali peradaban Islam, jika di kalangan internalnya saja masih sibuk saling sikut menyikut dan mencela dengan perkara khilafiyah furuiyah.
Kebenaran itu hanya milik Allah dalam suatu perbedaan yang konteksnya di luar aqidah dan dalilnya jelas. Tugas kita dalam perkara khilafiyah furuiyah adalah memilih dengan cara ittiba’ kepada pendapat ulama yang kita yakini kefakihan ilmunya, serta menghormati yang berbeda pendapat.
Mustahil ummat Muslim merebut kembali peradaban Islam, jika di kalangan internalnya saja masih berfikir tentang “Untuk apa belajar sesuatu hal di luar ilmu agama? Itu nggak penting”.
Mungkin, yang bicara itu lupa bagaimana dulu dari zaman Rasulullah sampai Kekholifahan Turki Utsmani, banyak tokoh-tokoh dan ilmuwan yang menyumbang kiprah peradaban dengan pemikiran, karya-karya fenomenal, dan peninggalan bersejarah yang sampai saat ini masih menjadi percontohan ilmu pengetahuan modern.
Apakah seorang Al-Idrisi hanya belajar ilmu agama saja sehingga menjadi penemu globe? Atau Ibnu Batutah yang menemukan 300 jalur laut? Pastinya harus mempelajari ilmu geografi dan ilmu eksakta lainnya, bukan?
Ilmu agama itu adalah pondasi dan sebuah kewajiban setiap penuntut ilmu untuk mempelajarinya, namun untuk orang-orang yang mempunyai potensi di bidang tertentu, maka mereka harus mengimbangi itu dengan belajar ilmu eksakta.
Mustahil ummat Muslim merebut kembali peradaban Islam, jika generasi mudanya saja masih terlena dengan kemalasan, tidak mempunyai tujuan kehidupan, tidak ada ghiroh untuk membangun kembali peradaban Islam, sibuk dengan motto masa muda untuk menikmati hidup.
Bukankah dulu peradaban Islam dibangun dari semangat perjuangan para pemudanya? Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang di usia 18 tahun. Muhammad Al Fatih yang menaklukkan Konstantinopel di usia 21 tahun.
Mustahil ummat Muslim merebut kembali peradaban Islam, jika para penghafal Qur’annya hanya mengejar kuantitas hafalan, tapi kualitas dari pengamalan diabaikan.
Bukankah output dari kita menghafal dan dekat dengan Qur’an adalah pengamalan dan dilanjutkan dengan mengajarkan? Namun, betapa banyak dari kita hanya fokus mengejar banyaknya hafalan, namun tidak diiringi dengan mengamalkan apa yang dihafalkan.
Padahal, kita sering mendengar para sahabat ber-fastabiqul khoirot, ketika menghafal 10 ayat Qur’an, seketika itu pula mereka mengamalkan hafalan Qur’annya tersebut.
Jadi, apa yang harus kita lakukan saat ini? Putar haluan, kembali kepada Qur’an dan Sunnah, bersatu dalam perbedaan, dan membangkitkan ghiroh perjuangan.
Mari bergabung menjadi bagian tersebut di Pesantren Daarul Mutqin.
Penulis: Zahra As’ad
- Direktur Pesantren Daarul Mutqin
- Founder & CEO ZA Group International
- Author of 7 Novels (Geng Santri Kece Book 1-5, Spy in Pesantren, Privileged Access)